KUALITAS pendidikan sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia (SDM), bermakna strategis bagi pembangunan nasional. Artinya, masa depan bangsa sangat bergantung kepada kualitas pendidikan masa kini, dan pendidikan berkualitas akan muncul jika pendidikan di level sekolah juga berkualitas.
Kenyataan, dalam dua dasa warsa terakhir ini kualias pendidikan secara nasional masih belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Dalam konteks pendidikan, pengertian kualitas mengacu kepada proses pendidikan, dan hasil pendidikan (Umaedi, 1999).
Kualitas dalam pengertian proses, terkait dengan masih belum meratanya fasilitas yang dimiliki sekolah seperti bahan ajar, sarana sekolah, dukungan administrasi dan sumber daya lainnya. Kualitas dalam pengertian hasil pendidikan (sampai jenjang sekolah menengah), tercermin dalam perolehan rata-rata hasil ujian yang belum sesuai harapan serta sebagian besar lulusan kurang memiliki kesiapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau memasuki dunia kerja. Menyangkut kemampuan dan sikap mental yang kurang memadai.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sekolah, namun hasilnya belum memuaskan. Salah satu sebab pusat upaya peningkatan kualitas berada di luar sekolah, pendekatan sentralistik, terbukti tak memberi jaminan pada akselerasi kualitas sekolah. Karena itu, dinamo peningkatan kualitas harus diletakkan kembali ke tempat semestinya, yakni di sekolah.
Sekolah sebagai sebuah sistem memiliki tiga a spek pokok, yang erat kaitannya dengan kualitas sekolah (Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Depdikbud 1999: 10). Yakni, proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah.
Program aksi untuk peningkatan kualitas sekolah secara konvensional senantiasa bertumpu pada peningkatan kualitas proses belajar mengajar (PBM), sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen dan kurang menyentuh aspek kultur sekolah. Pilihan tentu tidak salah, karena aspek itulah yang berkait dengan prestasi siswa. Namun bukti menunjukkan yang dikemukakan Hanushek, sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup.
Berdasarkan pengertian kultur menurut Antropolog Clifford Geertz, kultur sekolah dideskripsikan sebagai pola nilai, norma, sikap hidup, ritual, dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan sekolah, sekaligus cara memandang persoalan dan memecahkannya. Ini bermakna, secara alami kultur akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut, dan sekolah didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antargenerasi.
Kultur dan prestasi
Di Amerikat, pengaruh kultur sekolah terhadap prestasi siswa telah dibuktikan melalui penelitian empiris. Kultur sekolah yang sehat berkorelasi tinggi dengan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi serta produktivitas dan kepuasan kerja guru.
Ann Bradley dalam Hardly Working (1995), mengatakan hasil penelitian terhadap 1.000 siswa di New York City. Sekira 60% siswa menyatakan malas belajar karena guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi.
Sebagian besar responden menyatakan, sekolah tidak disiplin melaksanakan PBM, sekira 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar berjalan secara tepat, sesuai jadwal. Sebagian siswa mengeluh karena guru sering melecehkan dan tidak memperlakukannya sebagai anak dewasa.
Temuan yang tidak kalah menarik, ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana saat ini saja mereka akan lulus mendapatkan ijazah. Dan ijazah merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak perlu diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.
Di negara kita belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah, kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi, mengingat sekolah sebagai suatu sistem di mana pun berada relatif sama, hasil penelitian di AS itu perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita.
Meski begitu, kesahihan sebuah hasil penelitian tentu terpengaruh oleh pergerakan waktu, artinya kebenaran kemarin belum tentu benar untuk hari ini atau hari esok. Konsekuensinya, semua unsur harus meningkatkan kemampuan dan pengetahuan melalui kerja keras, antusiasme, dan disiplin tinggi. Kepala sekolah perlu berkolaborasi dengan semua komponen, termasuk orang tua.
Akhirnya, kultur sekolah akan terwujud jika semua komponen di sekolah menyadari, sekolah sebuah sistem organik atau sistem manusiawi, di mana hubungan kekerabatan antar individu yang terlibat merupakan kunci berlangsungnya sistem. Sejatinya, kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghargai dan menghormati tentu tak boleh diabaikan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar